Novi yang tidak di dunia Marlina saja

Dia bisa saja tetangga sebelah rumahmu, atau perempuan yang kau lihat di mal

rsl flrn
5 min readNov 22, 2017
Dea Panindra sebagai Novi (diambil dari Twitter @cinesurya)

[Spoiler alert! Kalau kalian belum menonton film ini dan tidak suka seseorang membocorkan jalan ceritanya, jangan lanjutkan baca sampai sudah menyaksikan.]

Marlina si Pembunuh dalam Empat Babak adalah film yang berani dan brilian. Ia mengangkat isu patriarki dan pemerkosaan ke layar kaca, dari pelbagai unsur. Mulai dari bagaimana lelaki melihat pemerkosaan sebagai ‘keberuntungan bagi perempuan’ dan penanganan polisi yang cenderung bikin geleng-geleng kepala.

Tetapi cukuplah membicarakan si tokoh utama, Marlina, yang kendati brilian namun agak berjarak. Mari menggeser lampu sorot ke karakter pendukung, Novi, yang menurut saya lebih merepresentasikan sebagian besar perempuan Indonesia.

Novi, si perempuan hamil 10 bulan ini menanggung beban yang berbeda dengan Marlina. Karakternya memang riang dan banyak bicara, tetapi dari situlah terungkap berbagai masalah yang merundung Novi.

Saat Marlina menanyakan soal kehamilannya, Novi kalau buntingnya sudah memasuki bulan. Di situ, ia mengungkapkan kekhawatiran kalau-kalau bayinya sungsang.

Hal ini menjadi masalah karena masyarakat setempat mempercayai kalau bayi sungsang disebabkan hubungan seks semasa hamil. “Kata mama mertua, sebulan pertama tidak boleh,” kata Novi saat keduanya buang air di sabana luas khas Sumba.

Suami Novi, Umbu, mematuhi titah ibunya itu. Padahal, Novi justru sangat birahi karena tengah hamil muda. Situasi ini kemudian membuat Umbu berprasangka buruk. Ia khawatir istrinya melampiaskan nafsu ke laki-laki lain karena dirinya tidak mau. Belum lagi ia juga kerap meninggalkan Novi dalam waktu lama untuk bekerja di daerah lain.

Meski sangat bernafsu, Novi sama sekali tidak minat pada lelaki lain. “Sa tidak ngidam apa-apa, cuma ngidam Umbu,” kata dia sembari tersenyum genit.

Ia kemudian mengeluh pada Marlina soal kecurigaan sang suami dan ibu mertuanya yang tidak bisa membantu apa-apa. Sayang, kisahnya berhenti karena Marlina langsung berdiri meninggalkan Novi.

Ini adalah gambaran nyata mayoritas masyarakat di Indonesia. Tidak terbatas di Sumba, takhayul dan gunjingan semacam ini juga pasti dialami oleh perempuan Jawa, Sumatera, dan lain-lain.

Baguslah kalau Novi masih bisa menanggapinya dengan canda dan tawa. Banyak perempuan yang menganggapnya sebagai beban yang mempengaruhi kondisi mental mereka. Padahal, komentar ini seringkali hanya mitos semata dan tak berbasis fakta.

Masyarakat Indonesia memang masih mematok masa hamil dengan patokan bulan. Padahal, dunia medis rata-rata menggunakan patokan pekan, dengan durasi kehamilan antara 37–42 pekan dari haid terakhir. Bila dikonversi ke bulan, maka jumlahnya melebihi 9 bulan; belum lagi jika kehamilan melalui Februari yang jumlah harinya memang defisit. Durasi masa hamil memang beragam.

Maka sebenarnya kehamilan Novi masih di batas normal. Tapi ia seolah menjadi tidak normal karena gunjingan masyarakat.

Saya teringat cerita seorang teman yang dimaki mertua karena durasi kehamilan istrinya jeda sepekan dengan usia perkawinan mereka. Ia dituding menghamili sebelum nikah, padahal acuannya bukan tanggal pernikahan melainkan waktu haid.

Kembali ke Novi.

Gunjingan ini tak hanya mempengaruhi si perempuan, tapi juga menular ke suami. Seperti kasus Umbu, yang sudah memendam curiga. Emosinya makin meledak saat ia menelepon istrinya, yang mengangkat malah Frans, salah seorang perampok yang tengah mencari Marlina. Padahal, Novi terpasak memberikan ponselnya karena ia diancam.

Akhirnya, saat mereka bertemu, pertengkaran tak terelakkan. Umbu pun menuding Novi selingkuh yang menyebabkan bayinya sungsang dan tak kunjung lahir. Pertengkaran mulut mereka membuat Umbu menampar Novi hingga terjatuh.

“Sumpah demi Tuhan saya tidak tidur dengan laki-laki lain!” teriak Novi membantah.

“Kalau begitu kau kasih lahir anak itu sekarang! Sekarang!” balas Umbu.

Tentu saja ini hal yang sangat mustahil dilakukan, hingga Novi pun terdiam dan hanya bisa menangis. Sementara Umbu? Dengan entengnya ia melenggang pergi; meyakini yang dilakukannya benar dan tak perlu meminta maaf pada istrinya.

Apakah ceritanya terasa asing? Tentu tidak. Novi mungkin kita temui di pasar dekat rumah, atau tengah nongkrong di pusat perbelanjaan modern. Dia bisa jadi seorang perempuan Sumba yang jauh dari ibu kota, atau bisa jadi tetangga sebelah rumahmu.

Media nasional seringkali memberitakan soal KDRT dengan sebab yang macam-macam. Anggaplah contoh kecil seperti cemburu yang dialami Umbu.

Masih ingat Ni Putu K di Bali yang harus kehilangan kakinya yang ditebas suami? Atau kasus seorang pria di Gresik yang membakar istrinya hidup-hidup di tengah sawah dengan motif serupa?

Tanpa bertanya atau konfirmasi, mereka dengan enteng menghabisi nyawa seseorang. Ini masih belum yang disebabkan faktor lain seperti perempuan dianggap membangkang, tidak tunduk atau hormat pada suami, hingga minta cerai. Kasus ini bukan khas daerah pinggiran saja, perempuan yang tinggal di kota besar pun tak luput menjadi korban KDRT (ingat Manohara?)

Catatan akhir tahun (CATAHU) Komnas Perempuan 2017 yang mencatat kasus perempuan selama periode 2015–2016 memang menemukan angka kasus kekerasan terhadap istri cenderung tinggi. Dari 10.205 kasus KDRT/ranah personal yang tercatat, istri menjadi korban dalam 57 persen atau 5784 kasus. Bentuk kekerasan yang paling menonjol dalam ranah ini adalah kekerasan fisik (seperti Umbu menampar Novi) juga psikis (seperti Umbu yang sembarangan menuduh tanpa bukti).

Ketua Komnas Perempuan Azriana menjelaskan kalau salah satu penyebabnya adalah ketimpangan relasi gender antara suami dan istri. “Diindikasikan dengan posisi subordinat istri dalam institusi perkawinan,” kata dia.

Tentu saja kalau Umbu menganggap Novi setara dengannya, tangannya tak akan seringan itu menampar.Ketimbang menuduh, ia akan mengajak bicara baik-baik dan mendengar penjelasan Novi. Tak perlu pukulan, cukup dialog.

Kelahiran bayi

Nasib Novi setelah pertemuan dengan Umbu memang menjadi sial. Satu-satunya hal baik yang terjadi padanya adalah melahirkan.

Ya, akhirnya si anak keras kepala yang sudah bercokol hingga hampir 40 pekan di rahim ibunya memutuskan untuk lahir. Bagaimanapun juga, ia tidak tiba di dunia dalam situasi yang layak menurut standar kesehatan.

Novi melahirkan tanpa didampingi bidan, hanya ada Marlina yang menyiapkan kain seadanya serta menangkap si bayi. Lokasinya adalah rumah Marlina, yang berisi 7 mayat. Beruntung proses kelahiran lancar, dan tak mengancam nyawa Novi maupun bayinya.

Sesungguhnya, harapan Novi untuk bisa melahirkan di puskemas atau fasilitas kesehatan juga kecil bila melihat tempat tinggalnya. Rumahnya memang tak ditunjukkan secara spesifik di film, namun kalau mengingat ia mencegat Marlina di pinggiran padang rumput luas tanpa bangunan apapun, maka dapat disimpulkan lokasinya terpencil.

Belum lagi, untuk mencapai kota mereka harus mencegat sejenis truk yang kurang lebih fungsinya seperti angkot, dan menempuh perjalanan yang tak sebentar. Lewat long shoot yang menampilkan rute mereka, keterpencilan lokasi dan sulitnya akses transportasi semakin kentara. Tentu saja ceritanya lain kalau ternyata Novi bertetangga dengan bidan, tetapi itu urusan lain.

Persoalan akses kesehatan untuk perempuan sudah pernah ramai dibahas setelah meledaknya film Pengabdi Setan. Maka, lewat Marlina ini saya coba menarik ke akses kesehatan bagi ibu hamil.

Berdasarkan data Kementerian Kesehatan (Kemenkes) tahun 2015, angka kematian ibu tercatat 305 per 100 ribu orang. Faktor penyebabnya adalahi hipertensi dan pendarahan. Tentu sulit membayangkan bagaimana mengatasi kedua masalah ini jika tak ada tenaga medis yang hadir saat proses kelahiran.

Pemerintah sudah mengupayakan intervensi lewat Program Perencanaan Persalinan dan Pencegahan Komplikasi (P4K). Ibu hamil akan mendapatkan pelayanan mulai dari taksiran persalinan, penolong persalinan, tempat persalinan, pendamping persalinan, transportasi, dan calon donor darah. Sayangnya, program ini belum mencakup seluruhnya. Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016 mencatat baru sekitar 74,7 persen ibu yang terpantau.

Masih ada 25 persen yang tanpa pendampingan, mungkin mereka sama seperti Novi yang tinggal di lokasi terpencil dan jauh dari sarana kesehatan memadai. Bila tidak, mungkin ia dan Umbu bisa menanyakan soal kapan due date bayi mereka sehingga tak perlu pusing dengan takhayul. Novi juga bisa selamat dari tamparan dan rasa cemburu suaminya.

Juga Novi-Novi lainnya yang hidup di luar dunia Marlina.

--

--