Mau sampai kapan mengeksploitasi korban kekerasan seksual?

Sudah waktunya berhenti memberi ruang pada berita yang cuma mengejar klik tapi melanggar kode etik

rsl flrn
6 min readOct 29, 2017

Sepekan belakangan ini hidup saya sedang tenang-tenangnya. Di luar kesibukan mengejar tenggat waktu dan bersitegang dengan diri sendiri, tidak ada peristiwa apapun yang membuat saya emosi.

Sampai suatu hari, seorang kawan mengirimkan tautan berita di grup WhatsApp. Topiknya tentang kasus unggahan video seks yang rupanya tengah hangat dibicarakan, tapi saya baru tahu persis kasusnya hari itu. Unggahan video hubungan intim yang disebar tanpa persetujuan itu tolol dan jahat luar biasa, tetapi bagaimana beberapa media meliput isu ini jauh lebih bikin sakit kepala.

Situs berita yang dikirimkan teman saya itu memang sudah terkenal dengan judul-judul sensaional pemancing klik (click-bait) dan kadang membuat saya bertanya-tanya bagaimana editornya bisa tidur nyenyak di malam hari. Tapi yang kali ini sudah di luar batas nalar dan kepatutan jurnalistik.

Ini situs berita atau situs mesum? (Sumber: screenshot dari Tribun Jatim)

Akhirnya saya memutuskan untuk berhubungan kembali dengan dunia nyata dan menemukan kalau ternyata peliputan isu ini masih kacau. Ada yang menuliskan nama lengkap korban, hinga universitas tempatnya pernah mengenyam pendidikan.

Situs yang buat saya marah tadi? Jangan ditanya, bahkan mereka menampilkan foto diduga korban yang diambil dari media sosial, untungnya bagian wajah masih diberi sensor. Judulnya apalagi, jadi sumir apakah itu situs berita atau Brazzer lokal.

Rupanya media di Indonesia masih jalan di tempat dalam perkara menulis isu. Kasihan korban, sudah jatuh tertimpa tangga pula.

Ngomong-ngomong, karena biasanya situs begini sengaja bikin judul sensasional untuk mendulang klik jadi saya tidak akan bagikan tautannya (tapi tentu saya simpan untuk dokumentasi).

Kode Etik

Saya adalah satu dari sekian banyak jurnalis yang berkarier di bidang ini tanpa latar belakang pendidikan yang sama. Kode Etik Jurnalistik (KEJ) sendiri baru saya khatamkan saat diterima kerja di Tempo, meski jujur aja tidak tahu semuanya.

Tapi setidaknya, untuk hal sensitif seperti Pasal 5 ya saya tahulah.

Wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan tiak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan

Penafsiran

a. identitas adalah semua data dan informasi yang menyangkut diri seseorang yang memudahkan orang lain untuk melacak.

b. Anak adalah seorang yang berusia kurang dari 16 tahun dan belum menikah.

Tentu saja dalam hal ini tidak sepatutnya nama lengkap korban dituliskan. Meski sudah menjadi topik populer di media sosial dan diasumsikan seluruh warganet mungkin familiar dengan namanya, tidak ada salahnya kan menjaga etika dengan tetap menulis inisial? Bukan malah latah ikut-ikutan.

Tidak semua warganet itu cerdas dan kapabel dalam isu begini, tak ada kewajiban untuk mengikuti standar mereka. Kalau bisa malah media mengedukasi dan jadi panduan cara menyikapi yang baik dan benar.

Saya sampai sekarang masih tidak mengerti apa tujuannya menyebar identitas korban meski sudah tahu itu melanggar kode etik. Memenuhi rasa penasaran warganet yang suka tiba-tiba jadi hansip moral itu?

Kembali lagi ke media.

Tahun 2015 lalu, Komnas Perempuan pernah membuat laporan analisa bertajuk “Sejauh Mana Media Telah Memiliki Perspektif Korban Kekerasan Seksual?” Riset terhadap pemberitaan yang berhubungan dengan kekerasan seksual dari 9 media besar di Indonesia itu menunjukkan mayoritas masih abai dengan hal mendasar.

Sebanyak 66 berita dari 225 temuan masih menuliskan nama, identitas keluarga, alamat rumah atau tempat bekerja. Saat data-data ini bergabung dengan watak sebagian besar masyarakat Indonesia yang masih cenderung menyalahkan korban, ya bubarlah neraka.

Oh, tapi lain cerita kalau sudah ada persetujuan dari keluarga atau korban untuk membuka identitas — meski masih harus dibarengi pertimbangan matang. BBC Indonesia, misalnya yang mewawancarai keluarga anak korban pemerkosaan, dan kemudian artikelnya bermuatan nama lengkap anggota keluarga dan korban, bahkan dibarengi foto. Di badan berita,sudah ada persetujuan dari sang ibu.

Tanpa persetujuan, saya rasa haram hukumnya menyebar-nyebar identitas orang sembarangan. Apalagi kalau hal tersebut malah membuat posisinya semakin sulit dan tertekan. Bukan mencerahkan malah mengaburkan.

Ngomong-ngomong ini masih hal paling dasar dalam pemberitaan loh ya, belum masuk yang rumit seperti stigmatisasi korban, dan penghakiman lewat opini yang tak perlu apalagi berimbang. Untuk perspektif mendalam soal itu bisa baca tulisan Tunggal Pawestri di sini.

Menjernihkan yang keruh

Berita-berita kacau tentu banyak, tapi tak sedikit yang memberikan perspektif mendidik. Seperti Tirto, misalnya, yang menjelaskan ihwal orang-orang yang merekam kegiatan seksual mereka, hingga akhirnya dipublikasikan tanpa persetujuan mitra atau partner yang bersangkutan. Entah sendiri untuk balas dendam, atau oleh orang lain (seperti kasus Ariel itu).

Contoh kasus yang mereka ambil adalah Tiziana Cantone, yang berujung bunuh diri karena dirundung dan dicemooh publik. Juga penjelasan kalau unggahan video seks tanpa izin ini adalah bentuk cyberbullying dan yang menyebarkannya dapat ditindak pidana lewat Pasal 29 UU ITE.

Tapi sialnya, di Indonesia ini korban juga masih terancam pidana lewat Pasal 4 UU Pornografi yang melarang prodeksi konten seksual. Sudah dirundung masyarakat, terancam penjara lagi. Padahal bisa jadi bukan atas persetujuannya video tersebut dibuat dan disebarkan.

Kumparan juga membuat artikel bagus tentang apa yang bisa dilakukan korban hingga rujukan lembaga medis maupun advokasi yang biasa menangani kasus semacam ini. Selain itu, angle dan pemberian judul mereka juga lebih berpihak pada korban ketimbang menghakimi seperti yang ada di situs berita lain.

“Pemeran” (Sumber: Metro TV News)
“Perempuan korban” (Sumber: Kumparan)

Ada juga situs Magdalene yang sudah lebih pionir dalam membahas isu seputar seksualitas dari sudut pandang perempuan.

Kalau menemukan artikel semacam ini, rasanya agak sedikit optimistis perubahan itu masih mungkin; meski kata seorang teman baiknya tidak muluk-muluk berharap. Tapi setidaknya sudah ada upaya edukasi masyarakat lewat kanal yang seharusnya: media massa arus utama. (Karena warganet suka sekali cari-cari berita buat justifikasi pendapatnya sampai-sampai yang hoaks juga disodorkan)

Lalu, bagaimana baiknya supaya kantor berita arus utama berhenti memproduksi artikel berkualitas koran kuning? Dipermalukan balik, dan diamkan.

Mereka, editor ataupun jurnalis yang sengaja melanggar kode etik ini, seringkali didorong oleh faktor ekonomi. Media online mempertimbangkankan perolehan hit, SEO friendly, dan google friendly untuk mendapatkan penghasilan. Dari situlah lahir judul sensasional dan berbagai pelanggaran.

Dengan tidak mengabulkan semangat ini (seperti mendiamkan dan malah melaporkan), lama-lama taktik ini akan hilang.

Banyak aktivis perempuan yang rajin menegur bila menemukan artikel jetot seperti yang di atas. Setidaknya bantu ramaikan di Twitter atau Facebook, sehingga yang bersangkutan sadar dan memperbaiki apa yang keliru. Tempo pernah melakukan hal tersebut (memperbaiki artikel) setelah ditegur oleh jurnalis cum aktivis Yenni Kwok.

Dan itu bukanlah sesuatu yang memalukan; ada kesadaran untuk memperbaiki diri. Toh kemarin waktu ramai-ramai soal istilah ‘pribumi’ CNN Indonesia mau memperbaiki judul artikel yang menggunakan kata tersebut karena misleading. ( ‘Pemeran’ gundulmu kayak lagi ngomongin film porno yang emang buat konsumsi publik padahal di sini ada seseorang yang hendak dibunuh identitasnya oleh seorang pecundang.)

Atau tidak bisa mengirimkan surat pembaca ke media tersebut, melaporkan ke Dewan Pers, atau bikin petisi yang sekarang sedang populer banget itu. Jangan diam ketika melihat sesuatu yang salah dan menyesatkan.

Saya kira rencana Dewan Pers untuk menerbitkan pedoman peliputan korban kekerasan — termasuk seksual — perlu segera diterbitkan. Fungsinya kurang lebih bisa mirip dengan Perma Nomor 3 Tahun 2017, menjadi acuan bila kelak ditemukan pelanggaran.

Media berperan besar dalam menentukan perspektif masyarakat terhadap suatu isu, sehingga perlu dikawal supaya tidak malah menjerumuskan.

Menjadi warganet budiman

Tentu selain media kita juga punya para warganet yang budiman. Entahlah apa yang berkecamuk di benak mereka tapi ikut menyebarkan video itu hingga jadi menghebohkan tidak berarti kalian telah melakukan kebajikan (apalagi bikin nama korban jadi trending topic). Tentu saja kalian bebas dari beban mental apalagi tekanan yang dirasakan si korban.

Ada baiknya daripada menjadi complicit (apa sih bahasa Indonesia-nya) dengan mengirimkan video ke grup sebelah, bisa kamu tegur si pengirim dan minta supaya dihapus. Jangan takut atau malu dibilang sok suci atau tidak bisa bercanda. Standar moral dan bercanda mereka rendah dan kamu tidak perlu menurunkan levelmu sampai sejajar.

Sisanya bisa baca di satu artikel bagus yang saya temukan, soalnya saya udah keburu capek (dan ini harusnya udah jadi pengetahuan umum bagi masyarakat beradab tapi yasudahlah tak ada salahnya mengulang informasi bagus).

--

--

No responses yet